MINAHASA – Ratusan mahasiswa Universitas Negeri Manado (Unima) yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Unima menggelar aksi damai di depan Kantor Pusat Rektorat Unima, Kamis (23/10/2025).
Aksi tersebut merupakan bentuk desakan moral dan tuntutan keadilan atas dugaan kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang guru besar di Fakultas Teknik. Para mahasiswa menilai pihak universitas belum menunjukkan transparansi dalam penanganan kasus tersebut.
Aksi ini diterima langsung oleh Wakil Rektor Bidang Akademik, Prof. Dr. Mister Gidion Maru, M.Hum., Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama, Lenny Leorina Evinita, B.Sc., MA., MBA., Ph.D., Kepala Humas, Drs. Titof Tulaka, S.H., MAP., serta Ketua Satgas PPKPT Unima, Dr. Aldjon Dapa, M.Pd., bersama jajaran Satgas lainnya.

Suasana aksi berlangsung tertib, namun sarat dengan ketegangan moral dan sorakan seruan keadilan. Para mahasiswa menegaskan bahwa dunia akademik tidak boleh menjadi tempat berlindung bagi pelaku kekerasan seksual, sekalipun bergelar profesor.
Dalam orasinya, Jhosua Korengkeng selaku perwakilan KBM Unima membacakan tujuh tuntutan resmi kepada pimpinan universitas dan pihak terkait, dengan merujuk pada Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi.

Tuntutan tersebut antara lain:
1. Transparansi penuh terkait status, perkembangan, dan hasil penanganan laporan kekerasan sesuai prinsip akuntabilitas dan hak korban untuk memperoleh informasi (Pasal 4 huruf e; Pasal 93 ayat 1 huruf a).
2. Jaminan independensi Satgas dan WR III dalam menjalankan proses penanganan kasus tanpa intervensi dan tanpa hambatan.
3. Pendampingan penuh terhadap korban, baik psikologis, hukum, maupun akademik, serta perlindungan dari segala bentuk intimidasi.
4. Keterbukaan pembentukan Satgas sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (3).
5. Penonaktifan pelaku dari seluruh jabatan akademik dan administratif di lingkungan Unima sebagai langkah pencegahan dan jaminan keamanan bagi korban.
6. Pencabutan keanggotaan pelaku dari Senat Universitas, karena posisi tersebut merupakan kehormatan dan memiliki tanggung jawab etis mewakili fakultas.
7. Pelaksanaan sanksi secara transparan, adil, dan berorientasi pada kepentingan korban, bukan semata untuk menjaga reputasi institusi.

Salah satu orator, Juan Alexius Ma’i, menegaskan bahwa penonaktifan serta pencabutan keanggotaan oknum guru besar dari Senat Universitas adalah langkah moral yang tak bisa ditawar.
“Kasus seperti ini tidak bisa disembunyikan di balik reputasi institusi. Kami menolak keras jika pelaku kekerasan seksual tetap menduduki posisi terhormat di Senat. Itu mencederai martabat universitas dan korban,” tegas Juan dalam orasinya.
Menanggapi aksi tersebut, Dr. Aldjon Dapa, M.Pd., selaku Ketua Satgas PPKPT Unima sekaligus Dekan FIPP, menyampaikan apresiasi terhadap aspirasi mahasiswa. Ia menegaskan bahwa universitas berkomitmen menegakkan keadilan dan menjalankan proses sesuai peraturan yang berlaku.
“Sudah jelas diatur dalam peraturan menteri mengenai sanksi bagi pelaku kekerasan seksual, baik ringan, sedang, maupun berat. Pemeriksaan telah dilakukan, dan kini kami menunggu keputusan resmi dari Rektor,” jelas Aldjon.
Ia juga menambahkan bahwa Satgas menjamin kerahasiaan identitas korban serta memberikan perlindungan penuh selama proses berlangsung.
“Mahasiswa mengingatkan kita semua bahwa tidak boleh ada ruang bagi kekerasan di kampus. Ini pelajaran moral bagi seluruh civitas akademika,” tandasnya.

Koordinator Lapangan aksi, Fridolin P. Lalogirot, yang juga Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Unima, menyatakan bahwa pihaknya akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas.
“Kasus ini sudah sebulan lebih. Kami minta proses segera dipercepat. Unima juga harus memperhatikan kondisi korban agar tidak mengalami hambatan akademik. Kami akan terus mengawal, dan mahasiswa lain jangan takut melapor,” ujarnya.
Sementara itu, Presiden Mahasiswa Unima, Gratio Rondonuwu, menekankan bahwa aksi tersebut bukan sekadar bentuk protes, melainkan gerakan moral untuk menciptakan kampus yang aman dan bermartabat.
“Kami ingin memastikan tidak ada lagi korban-korban berikutnya. Apa pun rekomendasi Satgas nantinya, oknum dosen harus diberi sanksi maksimal,” tegas Gratio.
Aksi damai KBM Unima diakhiri dengan pembacaan sekaligus penyerahan Surat Pernyataan oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama, Lenny Leorina Evinita, B.Sc., MA., MBA., Ph.D., kepada KBM Unima.

Dengan ini kami menerima tuntutan resmi dari keluarga besar BEM UNIMA dalam hal :
1: Kami berkomitmen penuh untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman, inklusif, dan bebas dari Segala bentuk kekerasan seksual. Prinsip perlindungan korban menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan dan tindakan yang kami ambil.
2. Perihal SK PPKS 2024 tentang keanggotan satgas PPKPT tahun 2025 kami sedang menunggu petunjuk dari Kementerian Dikti dan Saintek
3. Satgas PPKPT UNIMA telah menyediakan Fasilitas Pelaporan melalui Medsos (Instagram dan WA)
4.Kami akan terus melaksanakan sosialisasi lanjut tentang Permen 55 tahun 2024 perihal PPKPT kepada civitas akademika UNIMA (mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan)
5. Transparansi dilakukan sesuai dengan prinsip pencegahan dan penanganan berdasarkan Permen nomor 55 tahun 2024 pasal 4 ayat I
6. Rekomendasi yang sudah kami susun didasarkan atas hasil pemeriksaan dan kesimpulan untuk ditindaklanjuti oleh pimpinan UNIMA
7. Satgas PPKPT akan terus siap mendampingi, melindungi dan mengutamakan kepentingan korban untuk keamanan fisik dan psikologis
Demikian pernyataan ini dibuat untuk menjawab tuntutan keluarga besar BEM UNIMA dan selesaikan sesegera mungkin.
Selai itu, para mahasiswa berharap Rektor Unima segera mengambil langkah tegas dan transparan untuk menuntaskan kasus ini, serta memastikan lingkungan akademik bebas dari kekerasan seksual.
“Ini bukan sekadar aksi protes, tapi panggilan moral agar kampus menjadi ruang yang aman dan bermartabat,” tutup Presma Unima.
Sebagai dasar hukum, Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 mengatur pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di setiap perguruan tinggi. Satgas memiliki mandat menerima laporan, melakukan investigasi internal, memberikan pendampingan, serta merekomendasikan sanksi kepada pimpinan universitas.
Aturan tersebut juga menegaskan bahwa hak korban harus dijamin, termasuk hak atas perlindungan, pendampingan, dan informasi selama proses penanganan berlangsung.
Momentum ini menandai kebangkitan kesadaran mahasiswa Unima sebagai penjaga nilai keadilan, etika, dan kemanusiaan di dunia akademik.
Bagi KBM Unima, perjuangan ini bukan sekadar respons terhadap satu kasus, tetapi upaya kolektif untuk memastikan bahwa kampus adalah ruang aman bagi setiap insan pencari ilmu. (Abner)
