MINAHASA SELATAN – Potensi alam dan budaya yang dimiliki Desa Wiau Lapi, Kecamatan Tareran, Minahasa Selatan, perlahan mulai digarap menjadi kekuatan ekonomi baru bagi warga. Hal itu terlihat dari kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) yang digelar oleh dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH), Universitas Negeri Manado (Unima), Dr. Sisca Beatrix Kairupan, M.Si.
Melalui program bertajuk Sosialisasi dan Edukasi Tata Kelola Desa Wisata Berkelanjutan, Dr. Sisca bersama tim hadir mendampingi masyarakat sejak Juni hingga September 2025. Kegiatan ini difasilitasi oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unima, sebagai wujud pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pengabdian kepada masyarakat.
“Desa Wiau Lapi memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Namun potensi itu belum sepenuhnya dikelola secara baik. Karena itu, pendampingan ini menjadi penting agar desa wisata bisa berkembang berkelanjutan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Dr. Sisca, saat membuka kegiatan, belum lama ini.
Desa Wiau Lapi dikenal memiliki lanskap pegunungan, hutan, serta ragam tradisi lokal seperti upacara adat dan kerajinan tangan. Sayangnya, pemanfaatan potensi wisata belum maksimal. Sejumlah persoalan muncul, antara lain minimnya pengetahuan masyarakat tentang tata kelola wisata, rendahnya partisipasi warga, keterbatasan infrastruktur, hingga masalah lingkungan seperti pengelolaan sampah.
“Jika tidak dikelola dengan baik, potensi ini hanya akan menjadi cerita. Padahal, desa wisata bisa menjadi sumber ekonomi yang kuat bila masyarakat diberdayakan,” tambah Sisca.

Untuk menjawab persoalan tersebut, program PKM ini menawarkan sejumlah solusi. Tim dosen menggelar workshop tata kelola desa wisata, edukasi pengelolaan sampah dan konservasi alam, pelatihan pemandu wisata, pengelolaan homestay, hingga pengembangan produk lokal.
Selain itu, masyarakat juga diajak membentuk Kelompok Pengelola Desa Wisata (KPDW) sebagai motor penggerak kegiatan pariwisata. Metode yang digunakan meliputi diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion), praktik manajemen wisata, hingga pelatihan promosi digital melalui media sosial.
“Kami tidak hanya memberi teori, tetapi juga mendampingi langsung. Bahkan ada simulasi paket wisata budaya yang dikemas oleh warga sendiri,” kata Sisca.
Sejumlah hasil mulai tampak dari pelaksanaan kegiatan ini. Pengetahuan masyarakat meningkat, inovasi lokal mulai muncul, dan semangat gotong royong kembali hidup. Beberapa warga merintis paket wisata berbasis budaya, lomba kebersihan desa digelar, dan promosi wisata mulai dilakukan melalui media sosial.
Pemerintah Desa Wiau Lapi juga menyatakan dukungan penuh. Program desa wisata kini masuk dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).
Dampak lain yang dirasakan adalah lingkungan desa yang lebih bersih dengan gerakan 3R (reduce, reuse, recycle) dan kegiatan gotong royong. Budaya lokal seperti tarian tradisional dan kuliner khas kembali dilestarikan sebagai daya tarik wisata. Dari sisi ekonomi, sejumlah warga mulai membuka homestay, usaha kuliner, dan kerajinan tangan.
Melalui program ini, Desa Wiau Lapi kian mantap menapaki jalannya sebagai desa wisata berkelanjutan. Pendampingan dari Unima tidak hanya memberi pengetahuan, tetapi juga membuka jalan bagi kolaborasi antara masyarakat, pemerintah desa, dan perguruan tinggi.
“Harapan kami, Wiau Lapi bisa menjadi contoh desa wisata yang tumbuh dengan menjaga keseimbangan antara alam, budaya, dan ekonomi masyarakat,” tutur Dr. Sisca menutup rangkaian kegiatan. (Abner)
