Minahasa Tenggara— Ironis dan memilukan! Kawasan Hutan Kebun Raya, yang sejatinya menjadi paru-paru hijau dan kawasan konservasi milik negara, kini luluh lantak akibat aktivitas tambang emas ilegal (PETI) yang dilakukan secara terang-terangan oleh mafia tambang
Ko melky ,ko Sian ,ko Willy ,AT alias Alen,EK alias elo ,EK alias Eming,Is alias Inal,Jun becay.SE alias Tepi,SM alias Steven,KM alias Kiki
Pantauan di lapangan menunjukkan sejumlah alat berat jenis ekskavator beroperasi di dalam kawasan hutan yang berstatus lindung dan konservasi. Tebing-tebing hijau kini berubah menjadi lahan gersang penuh lubang.
Lebih miris lagi, pos penjagaan milik UPTD Kebun Raya Provinsi Sulawesi Utara hanya berdiri sebagai simbol kosong tanpa fungsi pengawasan. Aktivitas tambang ilegal berjalan lancar tanpa ada teguran, penyegelan, atau tindakan hukum.
Masyarakat sekitar menilai Kepala UPTD Kebun Raya Provinsi Sulut sengaja tutup mata, bahkan diduga ada setoran dari pelaku tambang kepada oknum pejabat terkait, sehingga aktivitas ilegal itu dibiarkan berlarut-larut.
“Kami lihat alat berat keluar masuk tiap hari. Tidak mungkin UPTD tidak tahu. Kalau pejabatnya diam, berarti dia bagian dari jaringan mafia tambang itu,” ujar salah satu tokoh masyarakat setempat.
Kerusakan yang ditimbulkan tergolong parah. Berdasarkan data lapangan warga, sedikitnya 14 hektare hutan kebun raya telah rusak berat. Beberapa spesies pohon endemik Sulawesi seperti Eusideroxylon zwageri (ulin) dan Shorea spp (meranti) ikut tumbang.
Aktivitas tambang ilegal ini jelas-jelas melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) disebutkan:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Namun faktanya, kekayaan alam itu kini dirampas oleh segelintir mafia untuk memperkaya diri sendiri.
Selain melanggar konstitusi, kegiatan tersebut juga menabrak:
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 50 ayat (3) huruf a, yang menyebutkan: “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan hutan.”
Sanksi: Penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp 5 miliar (Pasal 78 ayat 3).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Pasal 158, yang menyebutkan: “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.”
KUHP Pasal 406 ayat (1) tentang perusakan barang milik negara: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merusak atau menghancurkan barang milik negara, diancam pidana penjara dua tahun delapan bulan.”
Namun hingga kini, tidak ada satu pun tindakan hukum nyata dari Polda Sulawesi Utara maupun Polres Minahasa. Aparat terkesan diam dan membiarkan kejahatan lingkungan ini terus berlangsung.
“Kami menunggu langkah tegas dari aparat. Jangan hanya menangkap tambang kecil sementara yang besar dibiarkan bebas. Kalau hukum tidak tegas, masyarakat bisa hilang kepercayaan,” tegas warga.
Masyarakat mendesak agar Presiden RI dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) turun tangan langsung mengusut jaringan mafia tambang yang telah merusak ekosistem Kebun Raya dan menyeret seluruh pihak yang terlibat, baik pelaku di lapangan maupun oknum pejabat yang membiarkan.
“Kami ingin hutan kami kembali. Kami minta pelaku ditangkap, alat berat disita, dan pejabat yang terlibat dicopot. Jangan biarkan hukum tumpul ke atas,” tegas perwakilan warga.
Kejahatan lingkungan seperti ini tidak hanya merusak alam, tetapi juga menghancurkan masa depan generasi bangsa. Jika negara kalah oleh mafia tambang, maka keadilan hanya akan menjadi slogan kosong di atas penderitaan rakyat kecil.
(Tim)*