MINAHASA – Universitas Negeri Manado (Unima) melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) menggelar Kuliah Umum untuk mendukung Guru Besar Ilmu Geologi Dunia.
Kuliah Umum kali ini Unima menjadi tuan rumah dengan mengusung tema, “Seismic Tour Gap: Bridges Over Troubled Waters: Experiments with Full-spectrum Geohazard Risk Reduction in Indonesia” bertempat di Ruang Senat Lantai III, Kantor Pusat UNIMA, Kamis (5/6/2025).
Kegiatan ilmiah bergengsi ini menghadirkan narasumber utama Prof. Ron A. Harris, seorang pakar Geologi dari Brigham Young University (BYU), Amerika Serikat. Dalam kuliah umumnya, Prof. Harris menekankan pentingnya memahami sejarah kejadian bencana di masa lalu sebagai kunci untuk memprediksi dan mempersiapkan diri terhadap potensi bencana di masa depan.
“Kita tidak bisa melupakan sejarah. Catatan gempa dan tsunami dari tahun 1629 hingga saat ini menunjukkan adanya ‘seismic gap’ atau kekosongan kejadian besar yang menjadi sinyal bahaya bagi kita saat ini,” ujar Prof. Harris.
Menurut hasil penelitiannya, tingkat kemampuan komunikasi risiko dan penerapan langkah pengurangan risiko bencana di Indonesia masih tergolong rendah. Dalam menghadapi ancaman gempa dan tsunami, pertanyaan utama bukan lagi “jika” bencana itu terjadi, tetapi “kapan” dan “seberapa besar”. Prof. Harris menekankan bahwa di wilayah Sulawesi Utara dan sekitarnya, potensi gempa bumi bahkan dapat mencapai 8,7 Skala Richter.
Pentingnya Kesiapan Masyarakat
Prof. Harris juga menceritakan pengalaman dua tahun sebelum tsunami dahsyat melanda Aceh pada tahun 2004. Ia telah mempublikasikan hasil penelitiannya mengenai potensi seismic gap di bagian barat Sumatera yang berpotensi memicu gempa besar. Namun, sayangnya, informasi ini belum sampai ke masyarakat setempat hingga bencana benar-benar terjadi.
“Inilah pentingnya hasil kajian ilmiah harus disampaikan kepada masyarakat dan pemerintah. Dengan begitu, kita dapat melakukan mitigasi dan mempersiapkan diri lebih baik,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa kesiapsiagaan masyarakat adalah faktor utama dalam mengurangi jumlah korban jiwa. Ia mencontohkan masyarakat di Pulau Simeulue yang berada sangat dekat dengan pusat gempa tsunami Aceh, namun berhasil selamat hampir tanpa korban karena mereka memiliki kearifan lokal dan kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun melalui cerita rakyat.
Hal serupa juga terjadi di Maluku, ketika bendungan yang jebol menyapu permukiman di bawahnya namun nyaris tanpa korban, serta saat letusan Gunung Kelud dapat diminimalkan berkat informasi cepat dari dua mahasiswa geologi yang mendorong evakuasi dini.
“Alam memberikan tanda. Kita harus belajar mendengar suara alam (listen to the earth). Energi yang tersimpan selama ratusan tahun berarti potensi bahaya yang besar, dan itu menuntut tindakan mitigatif yang serius,” ujar Prof. Harris.
Unima Siap Kolaborasi Internasional
Dalam kesempatan tersebut, Rektor UNIMA, Dr. Joseph Philip Kambey, SE.Ak., MBA, melalui Wakil Rektor Bidang Akademik, Prof. Dr. Mister Gidion Maru, SS., M.Hum, mengapresiasi kehadiran Prof. Harris dan seluruh pihak yang terlibat. Menurutnya, kegiatan ini sejalan dengan semangat UNIMA sebagai Kampus Berdampak yang aktif melakukan inovasi, baik akademik maupun non-akademik.
“Kegiatan ini sangat penting dalam membangun pemahaman dan kesadaran tentang antisipasi bencana sejak dini, serta mendukung upaya pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pada tujuan pengurangan risiko bencana,” ujar Prof. Maru.
UNIMA menyatakan komitmennya untuk menjalin kolaborasi lebih lanjut dengan Prof. Harris dan Brigham Young University (BYU). Kedepan bisa menghadirkan mata kuliah kebencanaan sebagai bagian dari kurikulum di UNIMA.
“Kami ingin mencetak lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kesadaran dan kapasitas menghadapi bencana alam yang bisa terjadi kapan saja,” tambahnya.
Dukungan Lembaga Nasional dan Internasional
Kegiatan ini didukung oleh berbagai lembaga nasional dan internasional, antara lain BNPB, BMKG, BRIN, Brigham Young University (BYU), Universitas Pertamina, Geoscientists Without Borders, serta berbagai mitra lainnya. Acara ini turut dihadiri oleh pimpinan BPBD dari Minahasa, Tomohon, Minut, Manado, perwakilan BMKG serta BPBD lain melalui zoom meeting, jajaran pimpinan universitas, para dekan, wakil dekan, dosen, staf, dan mahasiswa UNIMA dari berbagai fakultas. Diawali dengan sambutan Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB Dr. Ir. Udrekh, SE., M.Sc melalui zoom.
Sebagai moderator dalam kegiatan ini adalah Mercy M. F. Rampengan, S.Pi., M.App.Sc., Ph.D., yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik FMIPAK UNIMA. Dengan kepakarannya di bidang kebencanaan di Prodi Ilmu Lingkungan, Mercy Rampengan memberikan kontribusi penting dalam mengarahkan diskusi dan memperkuat sinergi antara akademisi dan praktisi dalam upaya mitigasi risiko bencana.
Pada kesempatan itu, Prof. Ron Harris terkesima dengan hasil penelitian salah satu dosen Ilmu Geografi Dr. Joyce Ch. Kumaat, S.Pi, M.Sc, tentang modeling bencana tsunami di Kota Manado. Ini jelas menunjukkan kemampuan akademisi Unima di bidang kebencanaan.
General Lecture SEG Seismic Gap Tour di UNIMA bukan sekadar pertemuan ilmiah, tetapi menjadi momentum penting untuk memperkuat kesadaran kolektif bahwa keselamatan bukan hanya urusan pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. (Abner)