MINAHASA – Isu penebangan pohon di lingkungan Universitas Negeri Manado (UNIMA) menuai tanggapan dari kalangan akademisi. Salah satunya datang dari Prof. Dr. Arrijani, M.Si., Guru Besar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Kebumian (FMIPAK), yang juga merupakan Koordinator Program Studi S3 Biologi UNIMA.
Dalam keterangannya saat diwawancarai langsung Karyamedia.com, Prof. Arrijani menegaskan bahwa istilah “illegal logging” yang beredar di media sosial tidak tepat digunakan untuk menggambarkan aktivitas peremajaan pohon jabon yang dilakukan di area kampus UNIMA.
“Saya sudah membaca postingan mengenai illegal logging di dalam kampus. Ada dua kata yang tidak tepat digunakan. Pertama, kata illegal, karena semua aktivitas di dalam kampus berada dalam ranah legal institusi. Kedua, logging, sebab logging mengacu pada penebangan hutan, sementara UNIMA tidak memiliki kawasan hutan secara formal,” ujar Arrijani, yang meraih gelar doktor dalam bidang ekologi dan keanekaragaman hayati dari IPB University, Senin (28/07/2025).
Menurutnya, berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah kesatuan ekosistem yang secara hukum ditetapkan oleh instansi berwenang, yakni Kementerian Kehutanan. Tanpa surat keputusan resmi, kawasan bertanaman pohon di UNIMA tidak dapat disebut sebagai hutan.
Tanaman Jabon dan Pencegahan Bencana
Prof. Arrijani menjelaskan, tanaman jabon yang kini menuai kontroversi justru ditanam pada 2014 sebagai langkah preventif pasca-bencana banjir besar yang melanda Kota Manado.
“Saya mengusulkan pohon jabon kepada Rektor saat itu, Prof. Tuerah. Karena pohon ini tumbuh cepat dan memiliki tajuk daun yang lebar, sehingga berperan dalam mitigasi banjir melalui proses intersepsi air hujan,” jelasnya.
Dalam riset disertasinya di IPB, ia menemukan bahwa hingga 60 persen curah hujan dapat kembali ke atmosfer melalui proses transpirasi jika terdapat pepohonan besar dan rimbun, seperti jabon.
“Pohon jabon bukan hanya peneduh, tapi punya fungsi ekologis penting. Namun, karena tidak pernah diremajakan, kini banyak pohon tumbuh menjulang hingga 30 meter dan berpotensi membahayakan. Dahan kering bisa jatuh, menimpa orang atau fasilitas kampus,” tambahnya.
Peremajaan, Bukan Penebangan Brutal
Prof. Arrijani menjelaskan bahwa yang dilakukan saat ini bukanlah penebangan massal, melainkan peremajaan. Setiap satu pohon yang ditebang akan menumbuhkan hingga 12 tunas baru, dan dari situ dipilih dua hingga tiga tunas terbaik untuk dilanjutkan.
Ia juga menekankan bahwa langkah ini sejalan dengan prinsip ekologi kampus hijau (green campus).
“Idealnya ruang terbuka hijau sebesar 50 persen, sementara di UNIMA mencapai 80 persen. Jadi tidak masalah jika dilakukan peremajaan untuk menyeimbangkan aspek ekologis dan keselamatan,” tuturnya.
Soal aspek hukum dan prosedur, Arrijani menegaskan bahwa karena kawasan tersebut bukan hutan lindung atau konservasi yang ditetapkan oleh kementerian, maka pengelolaan berada di bawah otoritas Rektor UNIMA. Prosedur bisa berbasis pengajuan dari bawah (bottom-up) atau perintah dari pimpinan (top-down), dengan tetap melibatkan kajian akademis dari para ahli.
Tidak Ada Keuntungan Pribadi
Menanggapi dugaan adanya praktik penyalahgunaan dana hasil penjualan kayu jabon, Prof. Arrijani dengan tegas membantah.
“Saya tidak menerima sepeser pun. Semua hasil penjualan masuk ke rekening BLU UNIMA. Tidak ada aliran dana ke rekening pribadi saya, rektor, maupun pejabat lainnya,” tegasnya.
Menurutnya, kayu jabon memiliki nilai jual yang rendah di Sulawesi Utara, dan bahkan sulit laku dijual ke toko bangunan. Relasi pribadinya dengan pihak Dinas Kehutanan membantu agar peremajaan ini berjalan tanpa membebani keuangan UNIMA.
Menuju Kemandirian Ekonomi Kampus
Peremajaan pohon jabon ini, kata dia, bukan hanya soal keselamatan atau ekologi, melainkan juga upaya mendorong kemandirian finansial kampus. Sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU), UNIMA harus mulai menggali potensi pemasukan sendiri.
Ia bahkan menyarankan agar lahan bekas peremajaan pohon jabon digunakan untuk tanaman produktif jangka pendek seperti nilam, yang memiliki nilai ekonomi dan dapat dipanen rutin setiap enam bulan.
“Pendapatan dari hasil pengelolaan ini digunakan untuk mendukung pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi. Semua dosen dan mahasiswa akan merasakan manfaatnya,” ujar Arrijani.
Sebagai peneliti dan akademisi, Prof. Arrijani menyampaikan harapan agar publik lebih bijak dalam menanggapi isu ini.
“Kita harus bedakan antara penggundulan hutan secara liar dengan upaya ilmiah berbasis kajian ekologi, keamanan, dan keberlanjutan,” pungkasnya. (Abner)