MINAHASA SELATAN – Upaya mengangkat martabat minuman tradisional khas Minahasa, Cap Tikus, mendapat sentuhan akademik.
Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara (IAN) Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH) Universitas Negeri Manado (Unima), Dr. Itje Pangkey, M.Si, melaksanakan program Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) bertajuk “Advokasi Kebijakan Industri Cap Tikus Berbasis Kearifan Lokal”.
Kegiatan yang berlangsung sejak Juni hingga September 2025 ini digelar di Desa Kumelembuai, Kabupaten Minahasa Selatan, dengan melibatkan langsung para petani Cap Tikus setempat.
Program ini dibiayai melalui dana PNBP Unima dan difasilitasi oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM).
“Cap Tikus bukan sekadar minuman, tetapi warisan budaya Minahasa yang memiliki nilai sosial, ekonomi, dan identitas lokal. Namun, tantangan yang dihadapi para petani sangat kompleks, mulai dari lemahnya regulasi, cara produksi tradisional yang belum higienis, stigma negatif, hingga minimnya kelembagaan produsen,” kata Itje Pangkey saat ditemui di sela kegiatan, Kamis (25/9/2025).
Dalam program PKM ini, Itje Pangkey merancang serangkaian kegiatan mulai dari Focus Group Discussion (FGD), pelatihan produksi higienis, penguatan kelembagaan, hingga pemasaran digital. Pendekatan yang digunakan menekankan pentingnya kearifan lokal, terutama semangat mapalus Minahasa, dalam mengelola industri Cap Tikus agar tetap berakar pada budaya sekaligus berdaya saing.
“Melalui advokasi kebijakan berbasis kearifan lokal, kita ingin Cap Tikus bisa berkembang secara legal, sehat, dan berdaya saing. Ini jalan tengah antara regulasi negara dan tradisi lokal,” ujar Itje.
Tujuan utama kegiatan PKM ini antara lain:
- Meningkatkan kesadaran hukum bagi produsen Cap Tikus.
- Menguatkan kelembagaan berbasis adat dan desa.
- Membentuk forum komunikasi multipihak yang melibatkan pemerintah desa, tokoh adat, hingga pelaku usaha.
- Melatih petani dan produsen dalam inovasi kemasan serta pemasaran digital.
- Merumuskan rekomendasi kebijakan lokal terkait tata kelola Cap Tikus.
Hasil pelaksanaan PKM menunjukkan capaian yang signifikan. Menurut Itje, kesadaran hukum para produsen meningkat. Mereka kini memahami pentingnya legalitas dalam usaha, sekaligus melihat peluang menjadikan Cap Tikus sebagai produk unggulan daerah.
“Cap Tikus harus diposisikan bukan sekadar minuman, tetapi juga produk ekonomi kreatif yang bernilai budaya tinggi. Selain itu, keberlanjutan lingkungan menjadi perhatian, terutama melalui konservasi pohon aren sebagai bahan baku utama,” jelasnya.
Dampak positif dari kegiatan ini mulai terlihat. Dari sisi ekonomi, petani memperoleh pengetahuan baru untuk meningkatkan pendapatan secara legal. Dari sisi sosial-budaya, tradisi Minahasa dalam memproduksi Cap Tikus dapat dilestarikan dengan sentuhan tata kelola modern.
Program ini menegaskan peran perguruan tinggi dalam mendukung pembangunan berbasis potensi lokal. Bagi Unima, PKM yang dilaksanakan Dr. Itje Pangkey sejalan dengan misi Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pengabdian kepada masyarakat.
“Dengan advokasi kebijakan berbasis kearifan lokal, Cap Tikus kini memiliki arah yang lebih jelas: legal, higienis, berdaya saing, dan tetap menjaga jati diri budaya Minahasa,” pungkas Itje.
PKM ini pun ditutup dengan tagline penuh makna:
“Dari Tradisi Menuju Legalitas: Cap Tikus sebagai Warisan Budaya dan Produk Unggulan Minahasa Selatan”. (Abner)